Asrama Tua


Ini malam pertama Leta menempati kamar kosnya yang hanya berukuran 4 x 5m. Rumah kos itu termasuk dalam kategori rumah lama. Terlihat dari bentuk bangunan dan gerbang yang digunakan. Sepertinya rumah ini adalah bangunan asrama jaman Belanda. Harga yang ditawarkan pun tidak terlalu mahal. Jumlah kamar yang disewakan kurang lebih 100 ruangan. Di setiap kamar para penyewa diberi fasilitas tempat tidur besi yang dialasi dengan kasur kapuk, lemari kayu berukuran sedang, dan sebuah meja rias kayu jati dengan ukiran daun di seluruh sisinya. Jendela kamar Aleta menghadap kearah belakang rumah. Beberapa pohon besar terlihat jelas jika jendela tersebut dibuka.

Aleta sempat mendengar bahwa bangunan ini angker. Namun Aleta tidak peduli karena sejak kecil Aleta sudah menyukai segala sesuatu yang berbau horror, baik itu buku, film, atau kisah – kisah nyata yang merujuk pada dunia gaib. Walaupun hingga detik ini Aleta tak pernah melihat makhluk astral yang seringkali digambarkan berwajah menakutkan namun ia percaya mereka memang ada.

Malam pertama dilaluinya dengan lancar, bahkan ia tak sempat bermimpi, mungkin karena ia terlalu lelah membereskan kamar maka ia pun tidur dengan lelapnya.

Pagi – pagi sekali Aleta berangkat ke kampus. Di gerbang luar ia berpapasan dengan nyonya Ramses pemilik bangunan tua itu.

“Selamat pagi nyonya?”

“Hai Aleta, selamat pagi. Bagaimana semalam? Apa kau tidur dengan nyenyak?”

“Iya nyonya, sangat nyenyak, gangguan nyamuk pun tak berhasil membangunkan saya. Saya berangkat kuliah dulu, ada ujian hari ini. Permisi nyonya.”

Nyonya Ramses mengangguk sembari menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita itu nampak aneh. Ia menggunakan baju panjang warna hitam dan berkerudung, hampir seluruh tubuhnya terselimuti pakaian. Hanya wajahnya saja yang tidak. Namun ia selalu menunduk

Aleta melangkah cepat. Jarak antara kampus dan kos tak terlalu jauh. Cukup naik angkutan umum 5 menit saja maka ia sudah sampai di kampusnya.

Suasana kampus sudah cukup ramai. Beberapa rekan sekelasnya nampak sibuk dengan buku catatan di tangan mereka, dengan bibir komat kamit seakan menghapalkan bahan ujian. Aleta duduk di baris paling belakang. Tubuhnya masih lelah karena hari kemarin.

“Hei Let, ngapain disana? Sini deket aku.” Tukas Jani yang duduk dua baris di depan Aleta.

“Disini aja Jan, takut ketahuan kalau aku ngantuk nanti.” Jawab Leta sambil mengeluarkan alat tulis dari dalam tasnya.

Jani mengalah, justru ia yang pindah posisi mendekati Aleta.

“Maaf ya Let, kemarin aku nggak bisa bantu kamu. Mama masih sakit.”

“It’s okay darling. Aku bisa selesaikan sendiri. Sudah biasa aku pindah – pindah kos sendirian.”

“Bagaimana suasananya? Pemilik kos? Teman – teman kos?”

“Pemilik kos itu namanya Nyonya Ramses. Teman – teman kos? Hemmm aku belum berkenalan. Waktu aku berangkat tadi pagi suasana kos sangat sepi. Entah mereka semua masih tidur atau aku yang lebih lambat bangun dari mereka.”

“Selamat pagi anak – anak, apakah kalian sudah siap dengan ujian hari ini?”

Sebuah suara agak serak milik Mr.Devon mengejutkan seisi kelas. Termasuk Aleta dan Jani.

“Nanti disambung lagi ceritanya, si monster sudah datang.” Tukas Jani.

Aleta hanya tersenyum simpul. Ia paham betapa Jani begitu membenci Mr.Devon hingga akhirnya Mr.Devon mendapat anugerah sebagai The Monster,

___________________________________________________

Pukul enam sore Aleta dalam perjalanan pulang ke kos. Ia ingin segera sampai di kamarnya, melanjutkan tidurnya yang ia rasa masih jauh dari kata cukup.

Sampai di depan gerbang kos - Aleta tak langsung masuk, ia memandangi arsitektur bangunan rumah itu dengan lebih seksama. Memang terkesan angker jika diperhatikan dari luar. Ditambah lagi suasana juga amat sepi.

“Ah mungkin penghuni lain belum pulang.” Ucapnya dalam hati.

Aleta membuka gerbang perlahan. Walau cat-nya sudah mengelupas namun gerbang ini terlihat masih sangat kokoh.

Aleta berjalan melewati taman depan kos. Disana terdapat sebuah ayunan yang nampaknya sudah berkarat. Dua buah lampu taman terlihat sangat berdebu belum dinyalakan, karena ini masih sore.

Aleta berjalan namun pandangannya tak bisa lepas dari taman itu.

”brakk..”

“Duh.. maaf nyonya.”

“Tak apa Aleta.”

Aleta menabrak nyonya Ramses tepat di depan tangga menuju kamarnya. Beberapa detik memandang wajah Nyonya Ramses kemudian Aleta menunduk dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Sampai di kamar, jantung Aleta berdegup sangat kencang. Ia sempat melihat wajah Nyonya Ramses saat insiden tadi. Wajah itu begitu dingin walaupun nyonya Ramses menunduk.

Aleta membaringkan tubuhnya di kasur kapuk itu. Tanpa sadar ia tertidur.

Beberapa jam kemudian …

“Leta..Leta.” Sebuah suara yang begitu halus membangunkan Aleta dalam tidurnya.

Aleta membuka mata. Seorang gadis cantik dengan rambut ikal berwarna keemasan dengan gaun khas noni Belanda sudah ada di depannya. Sepertinya mereka seumuran. Aleta terdiam. Ia yakin bahwa gadis ini bukan manusia.

“Tak usah takut, aku penghuni kamar sebelah. Kau anak baru kan? Tadi kau lupa menutup pintu kamarmu. Maaf jika aku lancang masuk tanpa izin. Aku hanya ingin berkenalan.”

Aleta memandangi gadis itu dengan sangat teliti. Kakinya menempel di lantai, kulitnya putih bersih bukan putih pucat. Sepertinya memang dia manusia.

“Hai, iya tak apa. Siapa namamu?” tanya Aleta dengan nada hambar karena ia masih terkejut.

“Aku Salia.” Jawabnya singkat.

Setelah kejadian itu keduanya nampak terlihat sangat akrab. Setiap Aleta pulang dari kampus, Salia selalu menemani Aleta dalam kamarnya. Mereka berbincang – bincang. Salia sangat memahami sejarah. Terutama saat Indonesia ada di jaman Belanda. Hingga tahunnya pun Salia hapal diluar kepala. Wajar saja, Salia keturunan Belanda. Ayahnya adalah seorang Belanda yang bekerja di Indonesia, ibunya suku pribumi. Wajahnya bisa dibilang sempurna. Cantik luar dan dalam.

Beberapa minggu berlalu, Aleta mulai merasakan ada yang aneh di rumah kos ini. ia merasa seakan – akan hanya dirinya, Nyonya Ramses, dan Salia yang tinggal disana. Karena ia selalu menemukan kos dalam keadaan sepi. Tak ada suara riuh khas kos perempuan. Sampai pada suatu malam saat ia dan Salia tengah asik menikmati green tea di kamar Aleta.

“Sal, apa kamu kenal dengan penghuni yang lain?”

“Hah? Oh kenal tapi aku jarang berinteraksi dengan mereka. Kenapa Leta?”

“Tidak apa, hanya heran, sejak awal datang aku hanya meihatmu dan nyonya Ramses.”

“Kau harus terbiasa dengan kondisi sepi. Seperti aku.”

Aleta diam, ia masih penasaran mengapa kos ini nampaknya amat sangat hening. Ia berniat besok saat libur kuliah ia akan menyambangi kamar penghuni lainnya untuk berkenalan.

___________________________________________________

Hari yang ditunggu tiba, Aleta mengetuk setiap pintu. Namun baru saja ia sampai di pintu ketiga, nyonya Ramses mendekatinya tiba – tiba.

“Sedang apa Aleta?”

“Emmh,,ini,,,anu eh saya ingin berkenalan dengan mereka nyonya.” Jawab Aleta terbata.

“Mereka semua sedang dalam masa liburan. Beberapa ada yang pulang kerumah, sebagian lagi ada yang pergi menginap diluar kota.”

“Oh begitu, sudah berapa lama nyonya?”

“Sudah dua bulan. Apa kau merasa kesepian?”

“Tidak juga, hanya saja saya merasa asing dengan lingkungan yang sepi.”

“Hanya belum terbiasa. Lama – lama kau juga akan menikmati betapa indahnya kesunyian.”

Aleta pun mengangguk. Ia berjalan kembali ke dalam kamar. Wajah nyonya Ramses jauh dari kata bersahabat. Begitu kaku. Di dalam kamar Aleta mulai membuka beberapa buku koleksinya yang rata – rata begenre horror. Sampai akhirnya ada sebuah buku yang sama sekali tak ia kenali. Ia merasa sangat asing dengan covernya. Sebuah tangan besar mencengkram tubuh manusia berukuran kecil.

“Buku siapa ini? rasanya aku tak pernah membeli ini.”

Aleta mulai membuka halaman demi halaman. Aleta menikmati tiap kalimatnya. Ia terus membaca, sampai di halaman tengah ada sebuah mantra. Mantra tersebut menuliskan bagaimana agar kita bisa merasakan bagaimana menikmati hidup dalam kegelapan seperti hantu – hantu yang bergentayangan. Intinya mantra itu bisa membuat kita merasakan bagaimana menjadi makhluk Ghaib. Di situ dituliskan bahwa si pembaca mantra harus ikhlas. Tak boleh menyimpan dendam dan penyesalan.

Aleta mulai tertarik dengan mantra tersebut, dan ia ingin mencobanya.

Aleta duduk bermeditasi. Ia sedang mengosongkan hati dan pikirannya. Kemudian Aleta mulai membaca mantra tersebut.

Lepas aku dari bumi, biar aku melayang dengan jasad hilang

Ruang - ruang sunyi jadi tempatku antara gelap dan angin jahat

Tak biarkan mata awam menangkap bayanganku

Hanya Yang sama yang mampu menjadi kawanku

Hilang aku bersama aromaku tanpa jejak tanpa salam

Kembali aku bukan padaNya tapi pada mereka yang memintaku

Aku lepas napas dan napsuku

untuk pergumulan dalam kegelapan

Perlahan dengan hitungan yang pasti ia membaca dengan hati – hati. Sampai di kalimat terakhir. Aleta mulai merasakan kepalanya berat. Pandangannya mulai kabur. Sampai kemudian, “jlebb” ia pun tertidur.

___________________________________________________

Aleta terkejut, ia sudah berbaring diatas ranjang. Ia ingat betul bahwa tadi ia sedang duduk dilantai dengan sebuah buku asing berisikan mantra. Aleta turun dari pembaringannya. Ia mencoba mencari – cari keberadaan buku tersebut. Namun tak jua ditemukannya benda itu.

Aleta beranjak keluar dari kamar. Mencoba mencari Salia. Otaknya langsung mengarah pada gadis itu karena selama ini yang bisa keluar dan masuk kamarnya hanyalah Salia. Namun baru saja tangan mungilnya ingin membuka pintu ia menghentikan langkahnya. Aleta baru ingat bahwa selama ini Salia tak pernah memberitahukan dimana kamarnya. Apa mungkin ia harus mengetuk ke-49 kamar yang ada?

Gagang pintu ditarik, beberapa langkah keluar dari kamar ia begitu terkejut. Bangunan ini tak lagi sepi. Banyak gadis – gadis berpakaian mirip Salia nampak asik berbincang bincang di depan kamar, ada pula yang asik membaca buku. Mereka semua berwajah indo. Aleta melongok ke lantai bawah. Di taman ia bisa melihat beberapa gadis asik bermain ayunan, walaupun hari sudah gelap namun wajah mereka masih terlihat jelas lewat bantuan lampu taman yang sudah dinyalakan.

“Mungkin mereka sudah kembali dari liburannya. Aku tanyakan saja pada mereka dimana kamar Salia.” Ucapnya dalam hati.

Aleta mulai menyapa salah seorang gadis, ia nampak lebih cantik dari Salia. Bulu matanya lentik, warna matanya hijau, kulitnya sedikit berbintik, bibirnya merah merona, rambutnya yang keriting dibiarkan terurai, tersemat jepitan bunga kecil di kepala bagian kanan atas.

“Hai, aku Aleta. Boleh berkenalan?”

“Hai, Viena namaku. Kau nampak kebingungan?”

“Ah,,iya aku mencari seseorang.”

“Siapa? Bolehkah aku tahu?”

“Salia.”

“Salia ? Salia Van Wirgh ? Dia ada di kamar 66.”

Setelah mengucapkan terimakasih, Aleta langsung pergi meninggalkan Viena dan beberapa temannya. Ia berusaha mencari kamar yang dimaksud. Sesampainya disana Aleta melihat sebuah pintu kayu bernomor 66.

“Ini dia!”

Aleta mengetuknya. Tak ada jawaban sama sekali. Berkali – kali diketuk masih juga tak ada jawaban. Aleta pun memberanikan diri membuka pintu kamar itu sendiri lalu menutupnya kembali, sangat hati – hati hingga tidak menimbulkan suara sedikitpun. Lampu kamar ini sangat redup. Dan ada yang berbeda dari ruangan ini, Tempat tidurnya dibatasi sebuah sekat, dan itu tak dimiliki Aleta dikamarnya. Jadi saat masuk ke kamar, orang akan melihat meja kecil dan dua kursi kayu terlebih dahulu. Sebuah meja kecil berbentuk persegi nampak penuh dengan foto – foto Salia. Semua fotonya berwarna hitam putih. Salia berpose macam – macam. Ada yang sendiri, ada pula yang bersama kedua orangtuanya. Sebuah lemari besi berkarat mirip yang ada dikamarnya nampak terbuka. Kaki Aleta berjalan mendekati lemari. Matanya ingin sekali melihat isi di dalamnya. Ia melihat sejumlah baju ala noni Belanda tergantung disana. Namun warnanya sangat lusuh, bahkan kecoklatan. Aleta mencoba menyentuhnya. Ia terkejut, ini seperti baju – baju puluhan tahun lalu yang sudah tak layak pakai. Begitu rapuh. Di beberapa bagian sudah bolong, mungkin dimakan tikus. Di bagian bawah lemari sudah banyak rayap. “Mana mungkin Salia membiarkan lemarinya seperti ini?” pikir Aleta.

Jantung Aleta berdegub kencang namun kakinya terus ingin berjalan mengarah ke ranjang di balik sekat. Ia yakin Salia tengah tertidur disana. Aleta berjalan perlahan.

“Sa..Salia????????”

Aleta hampir pingsan. Ia melihat sebuah tubuh seperti nenek renta terbaring dengan sebuah kalung salib di lehernya. Rambutnya yang berwarna keemasan memutih. Awalnya Aleta tak yakin bahwa itu Salia, namun ketika ia melihat sebuah tanda lahir di punggung tangan orang dalam pembaringan itu ia yakin bahwa itu adalah Salia. Ditambah lagi wajah cantik Salia benar – benar terbias di wajah itu. “Apa ini mamanya? Atau neneknya? Oh Tuhan ada apa ini?” Aleta berharap ini semua hanya mimpi. Namun ia tak ingin mengakhiri ini, ia masih menikmati permainan jantungnya. Perasaan ini yang tak pernah ia temukan saat ia membaca buku – buku horror yang sama sekali tak memacu adrenalin.

Aleta mengelus tangan orang yang terbaring itu. ia merasakan tubuh itu begitu dingin. Ia mengelus kedua pipi yang hanya terbalut kulit keriput itu. Tanpa disangka kedua mata perempuan itu terbuka. Aleta tak mampu berkata – kata. Mulutnya bungkam. Wanita itu bangun dari tidurnya. Suara sendi seperti orang sedang meregangkan otot terdengar jelas. Perempuan itu membuka mulutnya. Jelas terlihat bibir keriputnya sudah mengelupas. Jejeran giginya menghitam. Namun ia masih terlihat cantik.

“Aleta?”

“Sa..Salia? Apa kau Salia?”

“Siapa yang membawamu kesini?”

“Seseorang mengatakan padaku bahwa ini kamarmu.”

“Siapa? Apakah nyonya Ramses?”

“Bukan! Bukan dia. Tapi seorang gadis. Kalau tidak salah ingat namanya Viena.”

Salia menunduk. Ia seperti ingin menangis. Aleta kasihan melihatnya.

“Aleta, maafkan aku. Harusnya kau tak sampai disini. Kau pasti sudah melihat mereka bukan?
“Mereka? Mereka siapa?”

“Gadis – gadis yang ada di bangunan ini.”

“Iya, tapi tunggu! Kau harus menjawab dulu pertanyaanku. Apakah kau Salia? Mengapa kau amat berbeda dari kau yang kemarin?”

“Aku menemuimu dengan penampilanku ratusan tahun lalu. Saat aku masih cantik. Saat aku belum menetahui bahwa bangunan ini akan membelengguku.”

“Apa maksudmu?”

Salia mulai bercerita, “Puluhan tahun lalu aku dan beberapa rekanku yang notabene keturunan Belanda secara serempak dimasukkan ke dalam asrama ini. Pemilik asrama ini adalah Tuan Ramses. Ia terkenal memiliki ilmu hitam. Ia memiliki sebuah mantra dimana mantra tersebut bisa membuat orang mati tanpa merasakan sakit dan membiarkan arwah orang tersebut bergentayangan tanpa ada batasan waktu. Awalanya semua nampak normal saja. Namun setelah satu tahun berlalu, satu per satu para gadis menghilang. Sampai yang terakhir sahabatku Lucia. Sebelum menghilang, ia sempat menuliskan surat padaku. Ia menceritakan tentang siapa Tuan dan Nyonya Ramses yang sebenarnya. Lalu ia memberikan padaku kalung salib ini. Ternyata Tuan Ramses mengetahui surat yang diberikan Lucia kepadaku. Maka dengan ilmu hitamnya, ia mengurungku disini. Sampai akhirnya ….”

Salia menggantungkan kalimatnya. Ada bulir airmata yang keluar dari pelupuk matanya.

“Sal, lanjutkan ceritamu. Mungkin aku bisa menolong.”

“Aku tak bertahan lama dalam ruangan ini. mereka sama sekali tak memberiku makan. Aku pun mengidap asma. Hingga di bulan ke 6 aku menghembuskan napas terakhirku.”

Aleta menjauhkan posisi duduknya dari Salia. Ia tak menyangka kini ia benar – benar bertemu hantu. Ada sedikit ketakutan membanjiri dirinya. Ia setengah bergidik. Ia takut tiba - tiba Salia mencekiknya hingga mati.

“Kau tak perlu takut Leta, kita sama. Hanya saja aku mati dengan jasad sementara kau tidak.”

“Apa maksudmu?”

“Tak ada satupun yang manusia bisa melihat banyak orang disini, kecuali mereka sudah sama – sama mati dengan membaca mantra itu. Jika kau sudah bertemu Viena, itu sama halnya kau sudah seperti dia dan lainnya. Aku dan nyonya Ramses mati karena takdir Tuhan namun tetap kami belum bisa tenang karena jasad kami tak pernah ditemukan.”

Aleta gemetar. Tubuhnya dibanjiri keringat. Ia tak percaya bahwa dirinya sudah mati.

“Pembohong!! Kau ingin membohongiku Sal. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat, namun kau tega membohongiku!!”

“Cobalah kau keluar kamar. Ini pukul delapan pagi. Silahkan kau nikmati mataharimu.”

Aleta berlari keluar kamar. Meninggalkan Salia di dalam kamarnya.

“Arrghhh!! Sakitt!!”

Aleta berteriak, ia kesakitan, tubuhnya seperti terbakar. Ia kembali masuk ke dalam kamar Salia.

“Sudah percaya? Kau takkan lagi bisa menikmati pagi, siang dan soremu. Kau hanya bisa menikmati malammu. Apakah kau tak menyadari bahwa aku selalu menemanimu di kala malam? Apakah kau tak menyadari nyonya Ramses selalu mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya? Ini takdir kita.”

Aleta menangis sesenggukan. ia menyesal membaca mantra itu. ia merasa bodoh. Ia tak menyangka bahwa kini ia adalah hantu.

“Apakah ada cara lain Salia?”

“Tak ada, takkan pernah ada. Kau, aku, juga mereka akan jadi penghuni asrama tua ini selamanya. Selamat datang Aleta. Selamat datang di asrama kita”
Asrama Tua Asrama Tua Reviewed by Unknown on 14.53 Rating: 5

Tidak ada komentar: